Konon,? Thomas Alfa Edison pernah “ditertawakan” telah gagal 5000 kali sebelum akhirnya berhasil menemukan lampu pijar. Dalam kesempatan wawancara dengan seorang reporter muda yang bertanya kepadanya, Edison berusaha “membela diri”.
“A young reporter interviewed Edison and asked him, “Mr. Edison, how can you continue to try to invent the light bulb when you have failed over 5,000 times.”? To which Thomas Edison replied,? “Young man, I have not failed 5,000 times.? I have successfully discovered 5,000 ways that do not work and I do not need to try them again.”(www.?http: //www.dellamenechella.com)
Sejatinya, Edison tidak “bersilah lidah”. Ia juga tidak membela diri membabi buta. Edison memberikan makna yang berbeda tentang suatu proses penemuan. Sementara orang lain ?mengatakan Edison telah gagal 5000 kali sebelum ia menemukan lampu pijar. Edison sendiri merasa telah menemukan 5000 cara yang salah dan 1 cara yang benar untuk membuat lampu pijar.
Kegagalan – sebagaimana keberhasilan – dapat dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Ada orang yang berpendapat bahwa kegagalan adalah kegagalan. Ada juga orang yang berpendapat bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda. Edison berpendapat bahwa, “kegagalan” adalah keberhasilan.
Dalam pendapat Edison, tidak ada istilah gagal. Dalam kasus Edison, ia mungkin “gagal” ?5000 kali sebelum akhirnya menemukan lampu pijar. Tetapi pada saat yang sama, Edison berhasil menemukan 5000 cara atau metode yang tidak bisa dilakukan untuk menemukan lampu pijar. “This is a great way to interpret failure — as a learning experience”,?demikian kata Della Menechella.
Lessons Learned
Dalam konteks knowledge management, proses yang telah dilakukan Edison adalah pengalaman belajar yang sangat berguna, tidak hanya bagi Edison, melainkan juga orang lain. Ada 5000 lessons learned dalam proses penemuan lampu pijar yang dilakukan oleh Edison.
Secara umum, “the purpose of lessons learned is to bring together any insights gained during a project that can be usefully applied on future projects.” Mengapa lessons learned penting?
Lessons learned sangat bermanfaat untuk proses perbaikan secara berkelanjutan. “Everything learned from previous projects, whether they were successes or failures can teach a project manager important lessons. And individual project managers usually do learn from their own previous experiences, but are these “lessons learned” shared with others within the project team or within the same organisation? If they are shared, do other project managers apply the lessons to their own projects?” (www.projectsmart.co.uk)
Banyak orang yang menganggap sepele lessons learned dari suatu proses, terutama jika proses itu gagal membuahkan hasil. Padahal, ketika seseorang tidak memanfaatkan lessons learned dari suatu proses atau peristiwa, orang akan terjebak untuk melakukan kesalahan yang sama yang pernah dilakukannya sendiri, atau kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang lain.
In my humble opinion, bahasa kitab suci (dalam hal ini Al-Qur’an) adalah bahasa deskripsi. Ayat-ayat dalam satu surat seringkali berisi deskripsi tentang suatu peristiwa. Bagian penutup ayat seringkali dilengkapi dengan kalimat “pamungkas”, contoh : “…….. Demikianlah, dalam kejadian itu banyak tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berpikir.”
Metode lessons learned memang berbeda dengan storytelling, best practices, dan success story yang cenderung berisi tentang keberhasilan yang pernah dicapai oleh individu, tim, maupun organisasi.
Secara umum,? lessons learned mirip dengan metode After Action Review (AAR) yang lazim dilakukan di organisasi militer. AAR adalah proses untuk mengevaluasi proses dan hasil dari suatu strategi dan rencana. Semua yang benar atau salah, baik atau buruk, dievaluasi. Bukan untuk mencari siapa yang salah, melainkan untuk mengetahui apa yang salah, mengapa salah, dan apa tindakan perbaikan yang harus dilakukan di kemudian hari.
Manusia Lebih Bodoh Dari Keledai?
Setiap manusia harus mampu belajar dari keberhasilan. Adalah baik, jika manusia mampu belajar dari kesalahan yang dilakukannya atau kegagalan yang dialaminya sendiri. ?Tetapi akan lebih baik, jika manusia tidak selalu harus belajar dari kegagalan dan kesalahannya sendiri. Banyak pelajaran dari kesalahan dan kegagalan yang pernah dilakukan oleh orang lain.
Manusia harus “mengakrabi” kesalahan dan kegagalan. Mengapa?. Della Menechella mengatakan bahwa, “The bottom line is that we should embrace “failure.”? Because if we are failing, we are learning; and if we are learning, we are growing.? And growing is really what life is all about.”
Masalahnya, manusia seringkali tidak mau dan tidak mau mengambil pelajaran dari kegagalan dan kesalahan yang pernah dilakukannya. Manusia juga tidak mau dan tidak mampu mengambil pelajaran dari kegagalan dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang lain.
Sesungguhnya, kalaupun manusia tidak mau dan tidak mampu belajar dari kegagalan dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang lain, akan lebih baik jika manusia mampu dan mau belajar dari kesalahan dan kegagalan yang pernah dilakukannya. Meskipun, proses belajar dari kegagalan dan kesalahan sendiri kurang memadai.
Konon, tidak ada hewan yang lebih bodoh daripada keledai. Tetapi keledai pun tidak mau bertindak bodoh. Paling tidak, keledai tidak mau kesandung di tempat yang sama dua kali. Manusia memang bukan keledai, karena itu manusia bisa kesandung dua, tiga, atau berkali-kali di tempat yang sama dan untuk urusan yang sama.
Pada saat manusia tidak mau belajar dari kegagalan dan kesalahan (yang dilakukan sendiri maupun orang lain), mungkin manusia tidak lebih terhormat daripada keledai. Soal manusia lebih bodoh daripada keledai atau tidak memang tidak perlu diperdebatkan. Faktanya, manusia memang seringkali tidak mau mengambil pelajaran dari kejadian yang pernah ?ada maupun sikap dan perilaku generasi terdahulu.
Menurut pendapat subyektif saya, idealnya generasi sekarang jauh lebih baik daripada generasi terdahulu. Sebab, generasi sekarang dapat belajar dari kesalahan, kegagalan, dan keberhasilan generasi terdahulu. Generasi sekarang dapat menghindari sikap dan perilaku yang membuat generasi terhadulu salah dan gagal.
Ironisnya, manusia memang tidak mau dan tidak mampu belajar dari generasi terdahulu. Manusia seharusnya bisa belajar dari sikap dan perilaku generasi terdahulu – misalnya Qabil dan Fir’aun – sehingga tidak mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Jika mau belajar dari Fira’un, Husni Mubarak dan Moamar Khadafi mungkin tidak mengalami peristiwa yang mengenaskan.
Selain tidak mampu dan tidak mau belajar dari proses dan peristiwa di masa lalu, manusia juga mudah lupa terhadap satu peristiwa penting. Peristiwa tenggelamnya kapal Titanic masih segar dalam ingatan sebagian besar orang. Melalui film Titanic, orang diingatkan kembali untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu.
Tetapi tidak demikian yang dilakukan oleh Francesco Schettino,? kapten kapal kapal pesiar Costa Concordia. Penyebab kapal Costa Concordia mirip dengan kejadian yang dialami kapal Titanic. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas : “Pemimpin perusahaan pemilik kapal itu mengatakan, kapal pesiar itu menabrak karang sebagai akibat dari sebuah kesalahan ”tak terjelaskan” dari kapten kapal Francesco Schettino. Surat kabar Corriere della Sera edisi Senin (16/1) melaporkan, kapten Francesco Schettino lewat dekat pantai pulau itu yang berkarang untuk menyenangkan kepala pelayan yang berasal dari Giglio.”
Satu hal penting, selain memanfaatkan lessons learned dari berbagai proses dan peristiwa, manusia tidak boleh menyerah. Sebab, kata Thomas Alfa Edison, “many of life’s failures are people who did not realize how close they were to success when they gave up”.
Tampak Siring, 5 Februari 2012
-6.283972
106.668074